Kamis, 24 Juli 2008

Menyambut 63 tahun Indonesia Merdeka

Kurang seminggu lagi bulan Agustus tiba, hari-hari di bulan ini terasa heroik sekali. Tepat pada tanggal 17 Agustus 2008 Indonesia berulang tahun kemerdekaan yang ke-63. Aroma keheroikan sudah terasa mulai dari tingkat RT-RW, kecamatan, kabupaten dan propinsi bahkan Negara sudah mempersiapkan beberapa agenda untuk memperingatinya. Hal ini merupakan budaya secara hegemonik dalam menyambut datangnya HUT RI. Selama sebulan penuh masyarakat sangat antusias, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan baik dalam berbagai lomba, do’a dan perenungan bersama. Selama bulan Agustus nyaris orang akan melupakan berbagai banyak persoalan di dalam masyarakat, mereka tidak akan memikirkan biaya BBM yang mahal, persoalan hidup yang semakin sulit, susahnya mencari pekerjaan, gaji yang kecil dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa nasionalisme bangsa ini masih dominan dan potensial. Rasa memiliki tanah air dan bangsa bagi mereka adalah suatu hal yang membanggakan. Bahkan mereka berpartisipasi bukan hanya tenaga, melainkan pikiran, dana dan seluruh jiwa raganya. Hal ini merupakan cermin bangsa Indonesia tidak ingin terjajah oleh siapapun juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang seakan-akan menjajah masyarakat kecil.

Ekonomi

Dalam hal ini penulis mencoba mempertanyakan kembali kebijakan pemerintah tentang ekonomi kerakyatan yang sudah lama digaung-gaungkan. Walaupun sebenarnya pemerintah bersama lembaga-lembaga lain seperti World Bank dan donatur-donatur negara asing telah mengucurkan banyak dana hibah dan dana UKM dalam bentuk berbagai program. Akan tetapi distribusinya tidak merata, dan pembinaan ke masyarakat juga belum mengena. Memang pembinaan dan pemberian program dilakukan berkala dan bergilir kepada masyarakat, namun pengelolaan yang dilakukan oleh Lembaga Masyarakat juga terasa kurang mengena. Hal ini terbukti masih banyak anggota masyarakat yang kurang mengerti dan mengenal program tersebut. Dan masih banyak juga masyarakat yang mengganggur dan tidak punya pekerjaan. Sementara mereka memiliki tanggungan anak yang sekolah. Hal ini tidak mengherankan jika semakin banyak anak putus sekolah. Menurut laporan pada akhir juni 2008 jumlah anak putus sekolah mencapai lebih dari 20 juta orang dan mengharuskan mereka bekerja di bawah umur 15 tahun. Hal ini sangat bertentangan dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang melarang keras anak usia <15 style="">

Pendidikan Masyarakat

Di 63 tahun Indonesia merdeka kita berharap banyak kepada segenap instansi baik pemerintah maupun swasta, LSM-LSM yang concern kepada society development agar senantiasa memberikan pendidikan di masyarakat. Pendidikan model apa yang harus diberikan ? Pendidikan yang bermodel dan berbasis pada masyarakat, budaya dan lingkungan yang ada. Pendidikan dapat berupa kewirausahaan, pendidikan politik yang sehat, pendidikan agama, pendidikan perkoperasian dan sebagainya. Banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan di masyarakat. Kita melihat banyak daerah di beberapa propinsi yang dulunya sangat dipandang tidak berpotensi akhirnya dengan sentuhan cerdas dan inovatif dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kita tidak harus berharap banyak dari negara yang sebenarnya masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Namun kita mengembalikan azas gotong royong yang merupakan ciri khas budaya nenek moyang. Bukan berarti gotong royong dalam korupsi berjama’ah, atau gotong royong menindas masyarakat. Tapi gotong royong dalam arti sebenarnya yang meliputi gotong royong dalam berfikir, mencari terobosan baru, penggalangan dana, berinovasi dan sebagainya. Otonomi daerah sudah berjalan sekitar 8 tahun dan ini merupakan kesempatan daerah untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakatnya bukan peningkatan dan penggelembungan dana pribadi pejabat. Kita dapat melihat bagaimana di Kabupaten Lamongan yang dulu gersang di kawasan pantai utara dipermak habis-habisan menjadi potensi wisata bahari yang indah dan komersil. Kita juga melihat keberhasilan Gubernur Gorontalo yang berhasil menciptakan inovasi dengan tanaman jagungnya sehingga meningkatkan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakatnya. Dan banyak lagi inovasi-inovasi yang harus dilakukan dalam bidang wirausaha, waralaba, potensi wisata, industri rumah tangga, koperasi dan sebagainya. Kegotong royongan ini sangat perlu. Saya pernah melihat sendiri bagaimana kegotong royongan yang dilakukan warga Pekalongan atau daerah-daerah di sekitarnya yang masih sangat kental. Ketika salah satu warga ingin membangun sebuah rumah, maka mereka menyumbang semen, pasir, batu-bata dan sebagainya dan akhirnya rumah dapat terwujud. Begitu sebaliknya jika warga lain membangun maka perilaku itu akan sama dilakukan oleh masyarakat lain. Walaupun demikian perubahan-perubahan yang kontradiktif di masyarakat akibat peningkatan BBM, listrik, PDAM atau apapun membuat masyarakat dapat mengambil hikmahnya, betapapun hidup adalah tantangan dan hal itu kental di masyarakat kita. Mereka tidak akan berpangku tangan ketika mereka kekurangan. Mereka akan bekerja seadanya, serabutan dan musiman asalkan mereka mendapatkan penghasilan. Betapapun parahnya negara ini jangan jadikan masyarakat menjadi pengemis. Sangat perlu dilakukan pendekatan dan pendidikan di masyarakat bahwa ini adalah badai dan badai pasti akan berlalu. Rasa optimis harus ditegakkan dengan segala usaha dan doa agar perjuangan masyarakat menjadi masyarakat madani yang mandiri akan terwujud.

Pola Pengembangan SDM

Regenerasi di masyarakat memang pasti terjadi. Pada usia produktif masyarakat kita dikenal pantang menyerah, ini terbukti dalam skala mikro di pedesaan, masyarakat petani tidak akan berhenti bertani, masyarakat pedagang kecil tidak akan berhenti berdagang dan jualan. Mereka tetap survive menatap masa depan. Walaupun angka pengangguran masih terus meningkat, pemerintah tidak perlu pesimis dan apatis. Didukung oleh segenap instansi, LSM dan lembaga masyarakat harus terus dan berkesinambungan dilakukan pembinaan Sumber Daya Manusia. Hal ini tidak membutuhkan biaya yang kecil namun hal ini merupakan tantangan global. Pola-pola pengembangan SDM telah banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, banyaknya Perguruan Tinggi yang telah menerapkan pembinaan pada mahasiswa pada bidang kewirausahaan (enterpreunership) dan pengembangan softskill. Bahkan di beberapa kampus telah menerapkan tidak akan memberikan ijazah S1-nya jika mahasiswa belum menciptakan lapangan kerja sendiri seperti yang dirintis oleh Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Ciputra. Karena pola hegemonik lulusan S1 yang setelah lulus kemudian mencari lapangan kerja, melamar jadi pegawai negeri atau swasta sangat banyak terjadi. Walaupun itu tidak salah akan tetapi lulusan sarjana yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam pembinaan lingkungan masyarakat dan simbol intelektual akan terjebak dalam hegemonik mencari pekerjaan yang notabene mereka sudah dibekali oleh ilmu-ilmu yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dalam rangka menyambut 63 Indonesia Merdeka dan menghormati jasa-jasa para superhero kita yang telah mengorbankan segalanya untuk bangsa ini, kita bersama-sama mengenali kembali lingkungan kita, jaga kebersamaan kita, kita galakkan gotong royong membangun daerah , negara dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang tertindas oleh kebijakan-kebijakan sendiri yang akhirnya menyengsarakan dan menciptakan problem-problem yang sangat komplek.

Tidak ada komentar: